Negeri Seribu Tambang Tapi Atletnya Miskin

EDITORIAL338 Dilihat

EDITORIAL

Oleh : Barnabas Loinang (Pemimpin Redaksi sport-Z.id)

 

IRONI terjadi di negeri seribu tambang, julukan baru yang diberikan Gubernur Sulawesi Tengah Anwar Hafid untuk menyebut provinsi berpenduduk 3,1 juta jiwa lebih ini.

Dengan 10 mineral tambang yang memperkerjakan puluhan ribu tenaga kerja bahkan asing, seharusnya Sulawesi Tengah tidak perlu repot untuk menghidup beberapa atlet daerah.

Baru-baru ini, mutasi sembilan atlet dayung Sulteng ke Jatim, Mauren (sepak takraw) yang akan meninggalkan daerah ini untuk hidup lebih layak dan agar bisa fokus latihan, itu sebuah contoh kecil dari tragedi yang menimpa atlet Sulteng.

Sebelumnya pasti mendengar Chsito Mondolu (karate), Andi Paturai (sepak takraw), Noval (atletik) yang memilih pindah mengharumkan nama provinsi lain ketimbang Sulteng.

Kepindahan mereka menunjukkan ada yang tidak beres pengelolaan pembinaan atlet di Sulteng.

Sudah lama diberitakan, dan juga sering dibahas. Namun action yang tidak ada.

Dulu sempat dibentuk Sulteng Emas persiapan PON 2024 Aceh-Sumatara Utara yang sebenarnya tujuannya adalah pelatnasnya atlet Sulteng.

Berjalan Sulteng Emas, tapi malah meleset menjadi sewa atlet luar yang akhirnya berujung masalah atlet sewaan itu digugat si pemilik atlet. Kalah Sulteng.

Usai Sulteng Emas, kini tidak ada lagi program atau road plan menuju PON 2028. Pusinglah atlet, apalagi pelatih yang pasti mereka mengeluarkan biaya yang lebih banyak daripada yang dikeluarkan daerah ini.

Yang muncul, atlet pindah karena sudah pasti mengharapkan kesejahteraan pasti syulit disini.

Daripada baku bantah, lebih baik pindah. Atlet dayung sekarang pindah di Jatim, sudah mendapatkan kompensasi. Kompensasi dapat, mereka juga diberi uang saku, asrama, multivitamin serta fasilitas yang lebih terjamin. Mereka hanya fokus latihan bisa meraih medali pada PON 2028 nanti.

Padahal baru di awal tahun 2025 yang baru saja berakhir PON 2024 di bulan September. Tapi Jatim sudah punya road plan menuju PON 2028. Kalau Jatim terlalu tinggi tolok ukurnya, tengoklah Gorontalo atau Kendari.

Lalu Sulteng? Sampai kapan terus menerus seperti ini. Atlet hanya disentuh menjelang PON, itupun tiga bulan Puslatda. Mimpi! Tiga bulan meraih emas sementara provinsi luar bertahun-tahun persiapan.

Kalaupun tidak tiga bulan, Pengprov lah yang bekerja keras menyiapkan latihan dengan mandiri agar kontinutias motorik, endurance, power terus terjaga sampai PON berikutnya. Agar medali bisa terjaga meskipun bukan emas.

Itulah mengapa di Sulteng ini tidak ada cabor yang konsisten meraih emas. Dari PON ke PON berganti. Dari dayung, ke aeromodeling, lalu ke lompat jauh, lalu ke petanuqe, paralayang, gateball dan renang.

Itu karena konsistensi latihan terukur, dengan dukungan maksimal itu tidak ada di Sulteng.

Kembali lagi, kalau berharap Pengprov lagi, sampai kapan?

Seolah-olah “wah luar biasa pengprov latihan mandiri” atau “wah mantap pelatih berkorban untuk daerah biayai mandiri atletnya ditampung di rumahnya”

“Nenek Moyang” Begitu bonus diberikan, jumlah untuk pelatih miris sekali. Bahkan terlalu pedisnya, air mata sudah kering tertanam batin.

Ternyata banyak juga masalah polemik olahraga Sulteng ini. Tapi ada solusinya. Anggaran miliaran itu berikan ke cabor untuk latihan atlet, multivitaminnya, uang sakunya pengganti transport.

Atlet senang, pelatih senang, cabor pun senang, KONI pun senang, gubernur pun senang, masyarakat pun senang.

Mulailah dari yang kecil tidak perlu besar. Kalau sudah terbiasa, lama-lama akan menjadi biasa. (*)

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *