Satu sisi pemotongan atlet sampai melebihi PPN PPH diatas 12 persen ini juga memberatkan atlet cabor beregu yang menerima bonus sama dengan penerima perorangan yakni sama-sama Rp500 juta.
Jika berkaca dengan PON sebelumnya di Sulteng atau provinsi lain, atlet penerima bonus beregu nilainya lebih besar dari perongan.
Atau seperti Provinsi DKI memberlakukan bonus peroangan kepada atlet yang meraih bonus cabor beregu. Misalnya atlet cabor perorangan DKI menerima bonus emas Rp500 juta, maka tiap atlet di cabor beregu menerima bonus peroangran Rp300 juta lebih bawah dari bonus peorangan.
Di Sulteng penyamaan bonus beregu dan perorangan dan bonus pelatih yang jauh dari standar ini menyebebkan pemotongan bonus atlet sampai gila-gilaan.
Namun satu sisi, tidak semua pelatih tega memotong atlet. Sebaliknya ada atlet durahaka atau atlet yang tidak tahu diri berterima kasih dengan menyisihkan bonusnya kepada pelatih dengan tidak merendahkan pelatih itu sendiri.
Pasalnya PON tahun 2024 ini sangat dirasakan berdampak pada pelatih yang mengeluarkan uang pribadi mulai dari persiapan Pra PON, kemudian latihan mandiri menjelang puslatda, kemudian puslatda mandiri.
Jika demikian terjadi, maka nasib olahraga di Sulteng semakin suram. Sistem yang tidak berjalan baik, bonus pelatih rendah dan pemotongan atlet ini akan menyebabkan atlet Sulteng rusak mental dan akan hengkang ke daerah lain. Karena atlet bukanlah sapi perah. (bar)